Senin, 04 Desember 2017

KONSEP KEHILANGAN, BERDUKA DAN KEMATIAN




KONSEP KEHILANGAN, BERDUKA DAN KEMATIAN

Image result for logo ngudia husada madura

DI SUSUN OLEH :
1.    Fitri Fariani
2.    Fiky Fendi
3.    Farico Misyaf P
4.    Edwita Kuswaris
           
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDIA HUSADA MADURA
2017
Kata Pengantar
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami selaku penulis dapat menyusun dan menyelesaikan  makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai Konsep Kehilangan, Kematian dan Berduka .Makalah ini dibuat dengan tujuan agar kita dapat memperoleh suatu ilmu yang berguna dalam bidang studi keperawatan dan dengan adanya makalah ini di harapkan dapat membantu dalam proses pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan para pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan tantangan dan hambatan, akan tetapi berkat bantuan dan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen pembimbing (Ns, M. Suhron, S.Kep. M.Kes) tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari walaupun sudah berusaha dengan kemampuan kami yang maksimal, mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang kami miliki, makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan maupun dalam penyusunan.Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya dapat membangun demi tercapainya suatu kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Bangkalan, 12 September 2017
                                                                                                                    
                                                                                                   Penulis,
                                                                                                  


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud kehilangan ?
2.      Faktor apa saja yang memengaruhi kehilangan ?
3.      Apa sajakah bentuk-bentuk dari kehilangan ?
4.      Apa sajakah sifat-sifat dari kehilangan ?
5.      Apa sajakah tipe-tipe dari kehilangan ?
6.      Sebutkan lima kategori kehilangan !
7.      Sebutkan tahapan-tahapan kehilangan !
8.      Apa yang dimaksud konsep kematian dan berduka ?
1.3   Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kehilangan
2.      Untuk mengetahui apa saja faktor yang memengaruhi dari kehilangan
3.      Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari kehilangan
4.      Untuk mengetahui apa saja sifat dari kehilangan
5.      Untuk mengetahui apa saja tipe dari kehilangan
6.      Untuk mengetahui apa saja lima dari kategori kehilangan
7.      Untuk mengetahui apa saja tahapan-tahapan dari kehilangan
8.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep kematian dan berduka
1.4  Manfaat
1.      Agar  mengetahui apa yang dimaksud dengan kehilangan
2.      Agar mengetahui apa saja faktor yang memengaruhi dari kehilangan
3.      Agar mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari kehilangan
4.      Agar mengetahui apa saja sifat dari kehilangan
5.      Agar mengetahui apa saja tipe dari kehilangan
6.      Agar mengetahui apa saja lima dari kategori kehilangan
7.      Agar mengetahui apa saja tahapan-tahapan dari kehilangan
8.      Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep kematian dan berduka

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Kehilangan
Kehilangan merupakan pengalaman  yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan adalah penarikan sesuatu atau seseorang atau situasi yang berharga atau bernilai, baik sebagai pemisahan yang nyata maupun yang diantisipasi. Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi apabila sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, diketahui atau dipahami. Tipe dari kehilangan memengaruhi tingkat distress. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distress yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibanding dengan saudaranya yang sudah tidak lagi bertemu selama bertahun-tahun. Tipe kehilangan penting artinya untuk proses berduka. Namun perawat harus mengenali bahwa setiap interpretasi seseorang tentang kehilangan sangat bersifat individualis.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan berduka. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan berduka. Ketika merawat klien dan keluarga, perawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi memengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter dan Perry, 2005). Kehilangan adalah situasi actual dan potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak lagi ada atau menghilang. Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan atau sense of self- baik sebagian maupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatic. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi kritis, baik kritis situasional ataupun kritis perkembangan. Dalam hal ini persepsi individu, tahap perkembangan, mekanisme koping dan sistem pendukungnya sangatlah berpengaruh terhadap respon individu dalam mengahdapi proses kehilangan tersebut. Apabila proses kehilangan tidak dibarengi dengan koping yang positif atau penanganan yang baik, pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan individu atau port of being maturnya.
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatic, diantisiapsi atau tidak diharapkan atau diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Menurut Lambert dan Lambert (1985) Kehilangan adalah suatu individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan dapat bersifat actual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah didentifikasi, misalnya seorang anak yang teman supermainannya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalah artikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam makna kata yang hilang, maka makin besar rasa kehilangan tersebut.
2.1.1 Gambaran konsep kehilangan adalah sebagai berikut :


 












2.2   Faktor yang Memengaruhi Kehilangan
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kehilangan antara lain sebagai berikut :
a.       Perkembangan. Misal anak-anak, belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan, belum menghambat perkembangan, bisa mengalami regresi. Sementara orang dewasa, kehilangan bisa membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup, menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
b.      Keluarga. Keluarga memengaruhi respons dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.
c.       Faktor sosial ekonomi. Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Hal ini mengganggu kelangsungan hidup.
d.      Pengaruh Kultural. Kultur memengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur “barat” menganggap kesedihan adalah sesuatu yang bersifat pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.
e.       Agama. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada di konsep dasar agama. Akan tetapi ada juga yang menyalahkan tuhan akan kematian.
f.        Penyebab Kematian. Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan syok dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.
2.3  Bentuk-Bentuk Kehilangan
Adapun bentuk-bentuk dari kehilangan, sebagai berikut :
a.       Fisik atau actual. Jenis ini sifatnya nyata dan dapat dikenali oleh orang lain. Dengan kata lain, orang lain dapat juga merasakan apa yang terjadi pada orang tersebut.
b.      Psikologis. Jenis kehilangan ini sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat oleh orang lain, hanya yang mengalaminya yang bisa merasakannya. Bebannya beban yang dirasakan bergantung pada beratnya kehilangan atau berartinya objek yang hilang.


2.4  Sifat Kehilangan
Adapun sifat-sifat kehilangan, sebagai berikut :
a.       Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan berduka yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
b.      Berangsur-angsur (dapat diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional. Klien yang mengalami sakit selama enam bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk menyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan memengaruhi apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan memengaruhi dukungan yang diterima. Durasi perubahan (missal apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrum fisik, psikologis dan sosial.
2.5  Tipe Kehilangan
Adapun tipe-tipe kehilangan, sebagai berikut :
a.      Actual loss. Kehilangan yang dapat dikenal atau didentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
b.      Perceived loss (psikologis). Perasaan individual, tetapi menyangkut hal-hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
c.       Anticipatory loss. Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan atau berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien atau anggota yang menderita sakit terminal.



2.6  Lima Kategori Kehilangan
Lima kategori tersebut antara lain:
a.       Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menajdi using, berpindah tempat, dicuri atau dirusak karena bencana alam. Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa mungkin berupa perhiasan atau aksesori pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya dan kegunaan dari benda tersebut.
b.      Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Contohnya termasuk ke kota baru, atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seseorang lansia pindah ke ruang perawatan, atau situasi situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit.
c.       Kehilangan orang terdekat atau orang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tipe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yng dicintai. Oleh karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kamtian pasangan suami istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi. Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan bahwa banyak orang yang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja dan kematian.
d.      Kehilangan aspek diri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keaktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek  diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplet. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh. Kehilangan aspek diri dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta, perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu. Porang tersebut tidak hanya mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
e.       Kehilangan hidup
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian. Doak (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.. klien dihadapkan pada serangkaian keputusan, termasuk medis interpersonal, psikologis seperti halnya cara menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkannya. Akhirnya terjadilah pemulihan. Klien yang mengalami fase terminal ketika kematian bukan lagi halnya kemungkinan, tetapi itu sudah pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit ini klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah. 




2.7  Fase Atau Tahapan Kehilangan
Adapun fase atau tahapan kehilangan antara lain :
a.       Fase Pengingkaran (denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjdi, dengan mengatakan “tidak, aku tidak percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosis dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi padda fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam bebrapa menit atau beberapa tahun.
b.      Fase Marah (anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh perawat atau doketr yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain : muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal.
c.       Fase Tawar-Menawar (bargaining)
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan pada tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.
d.      Fase Depresi (depression)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sifat menarik diri, kadang sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan untuk bunuh diri dan sebagainya. Gajala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
e.       Fase Penerimaan (acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada objek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh?”. Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Akan tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan memengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
2.8 Konsep Berduka                                                                                        
Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa kehilangan, biasanya akibat perpisahan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Respons klien selama fase berduka meliputi :
1.      Perilaku bersedih, yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat menimbulkan masalah kesehatan.
2.      Berkabung, yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan kebiasaan.
                                           
Berduka adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan (Rando,1991). Respon ini termasuk keputusan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah dan marah. Berduka adalah respons emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak napas, susah tidur, dll. NANDA merumuskan dua tipe dari berduka yaitu, berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespons kehilangan yang actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesarkan-besarkan saat individu kehilangan secara actual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, kesalahan atau kekacauan.
Tujuan berduka adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintegrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup klien. Pencapaian ini membutuhkan waktu dan upaya. Istilah “upaya melewati berduka” berasal dari seorang Erich Lindemann (1965) yang menggambarkan tugas dan proses yang harus diselesaikan dengan berhasil agar berduka terselesaikan. Orang yang mengalami berduka mencoba berbagai strategi untuk menghadapinya. Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas berduka yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan. Herper (1987) merancang tugas dalam akronim “TEAR” sebagai berikut :
1.      T- untuk menerima realita dari kehilangan.
2.      E- mengalami kepedihan akibat kehilangan
3.      A- menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang hilang.
4.      R- memberdayakan kembalienergi emosional kedalam hubungan yang baru.
Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi prioritas.
1)        Engel’s Theoryi
Menurut engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a)         Fase I (shock dan tidak percaya): seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas atau pergi tanpa tujuan. Mencoba untu membutakan perasaan, mungkin karena orang tersebut tidak menyadari implikasi dari kehilangan. Biasanya seseorang dapat menerima secara intelektual, tetapi menolak secara emosional. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bias istirahat, insomnia, dan kelelahan.
b)        Fase II (berkembangnya kesadaran): seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/actual dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. Marah biasanya akan ditujukan kepada rumah sakit, perawat, dan lain-lain. Menyalahkan diri sendiri dan menangis adalah cara yang tipikal sebagai individu yang terikat dengan kehilangan. Menangis sepertinya mencakup baik pengetahuan tentang kehilangan sebagai suatu regresi yang tidak tertolong atau seperti seorang anak.
c)         Fase III (restitusi/resolving the loss): seseorang dengan keinginannya untuk menghargai akan seseorang yang meninggalkannya, berupaya untuk juga mengikuti ritual berkabung, misalnya pemakaman. Berusaha mencoba untuk sepakat/berdamai dengan perasaan yang hampa atau kosong, karena kehilangan. Masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang ynag bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d)        Fase IV: menciptakan kesan orang meninggal yang hamper tidak memiliki harapan dimasa yang akan datang. Menekan seluruh perasaan yang negative dan permusuhan terhadap almarhum. Bias merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurangnya perhatiannya dan perilakunya yang tidak mengenakkan dimasa lalu terhadap almarhum.
e)         Fase V: kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai diketahui atau disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat meneriam kondisinya. Kemarahan atau depresi tidak lagi diperlukan. Kehilangan jelas terjadi pada seseorang, yang mulai mengatur kehidupannya kembali dengan meyakini fase ini, seseorang bergerak dari level terendah ke yang lebih tinggi tentang integrasi empati dan intelektual. Kesadaran baru telah berkembang.
2)        Fase berduka menurut Martocchio (1985)
Meskipun proses kesedihan memiliki rangkaian yang dapat diprediksi dan mempunyai gejala-gejala yang khusus, tidak ada dua orang yang mengalami kemajuan melaluinya dalam jangka waktu yang sama dan metode yang sama. Seseorang mengalami kemajuan kemudian kemunduran sampai akhirnya kehilangan itu terselesaikan kembali.Martocchio (1985). Menggambarkan 5 phase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan berfariasi dan bergantung pada factor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus-menerus dari kesedihan biasanya reda dalam waktu 6-16 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3 hingga 5 tahun.Peri bahasa mengatakan “sekali berduka, selamanya berduka” masih dianggap benar.Untuk mengharapkan klien untuk bias membuat kemajuan waktu yang ditetapkan adalah salah, tidak tepat dan mungkin membahayakan.         
3)        Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori:
1.         Penghindaran (shock, menyangkal dan tidak percaya)
2.         Konfrontasi (luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3.         Akomodasi (terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
2.8.1 Duka Cita yang Tidak Teratasi
1.           Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri yang rendah dan rasa bersalah cenderung menonjol.
2.         Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri secara social, gangguan cemas, serangan panic, perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat muncul. Duka cita yang tidak teratasi mungkin merupakan penyebab tidak terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus- karenanya perlu selalu menanyakan riwayat masa lalu tentang kehilangan-kehilangan yang bermakna.
3.         Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan gejala seperti psikosis) muncul pada sebagian kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses duka cita yang normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri atau “perilaku penyakiy kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan dengan masalah medis pimer.

2.9     Konsep Kematian
          Secara etimologi yaitu keadaan mati atau kematian. Sementara secara definitive. Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen.  Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Pemahaman akan kematian memengaruhi sikap dan tingkah laku seorang terhadap kematian.
Beberapa konsep tentang kematian sebagai berikut :
a.              Mati sebagai terhentinya darah yang mengalir. Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa terhentinya jantung. Dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, tekhnologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b.             Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan dapat ditarik kembali.
c.              Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
d.             Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial. Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam bidang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati. Dalam keadaan sperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resusciation).
Dying dan death (menjelang ajal dan mati), dua istilah yang sulit untuk dipisahkan satu dan yang lain, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih kearah suatu proses. Sedangkan death merupakan akhir dari hidup.Terdapat kontroversi kecil tentang arti dari death. Kebanyakan orang lebih menerima bahwa berhentinya pernapasan dan denyut jantung serta ketidak mampuan reflex corneal merupakan data/tanda yang cukup bagi death. Tetapi tidak selamanya demikian.Sekarang lebih mungkin untuk memperhatikan respirasi dan sirkulasi seseorang dengan menggunakan obat-obatan, mesin, organ tiruan, dan transplantasi.
2.9.1 Perkembangan persepsi tentang kematian                      
No
Umur
Keyakinan
1
Bayi-5 tahun
Tidak mengerti tentang kematian, keyakinan bahwa mati adalah tidur/pergi yang temporer.
2
5-9 tahun
Mengerti bahwa mati adalah titik akhir orang yang mati dapat dihindari.
3
9-12 tahun
Menerti bahwa mati adalah akhir dari kehidupan dan tidak dapat dihindari, dapat mengekspresikan ide-ide tentang kematian yang diperoleh dari orang tua/dewasa lainnya.
4
12-18 tahun
Merasa takut tentang kematian yang menetap, kadang-kadang memikirkan tentang kematian yang dikaitkan dengan sikap religi.
5
18-45 tahun
Memiliki sikap terhadap kematian yang dipengaruhi oleh religi dan keyakinan.
6
45-65 tahun
Menerima tentang kematian terhadap dirinya. Kematian merupakan puncak kecemasan.
7
65 tahun keatas
Takut kesakitan yang lama.
Kematian mengandung beberapa makna:
·         Terbebasnya dari rasa sakit
·         Reuni dengan anggota keluarga yang telah meninggal.

2.9.2 Perkembangan Tentang Pandangan Hidup dalam Proses Kematian
Pandangan hidup seseorang pasien dan lingkungannya dapat terjadi suatu pengaruh cukup besar terhadap cara individu menghadapi kematian. Dari beberapa penelitian ditunjukkan bahwa beragama atau tidak beragama tidak berpengaruh terhadap ketakutan yang dihadapi oleh seseorang yang akan mati.
Terdapat beberapa alasan, mengapa seseorang mengalami ketakutan sebelum/menjelang kematian:
1.        Orang berpendapat bahwa hidup hanya sampai disitu saja, terlalu pendek dan masih banyak yang harus dilakukannya sebelum kehidupan ini “berakhir/selesai”.
2.        Sebelumnya orang tidak memikirkan kematian yang dihadapinya. Jadi ada ketakutan menghadapi kematian.
3.        Orang takut harus meninggalkan segalanya, manusia, binatang, lingkungan yang telah dipercayainya.
4.        Orang dapat merasa takut berdasarkan suatu pengalaman hidup terhadap penghakiman tuhan atas jalan kehidupan yang telah dilaluinya. Orang takut bahwa hidupnya masih terlalu singkat disbanding sesamanya, dan terhadap tuhan. Misalnya, orang takut masuk neraka setelah ia mati.
Pendapat lain tentang proses berduka adalah dari Sporken dan Michels yang terdapat dalam bukunya “De Laatsthe Levensfase. Sterversbege Leiding En Euthanaise”.Terdapat tujuh fase dalam proses-proses kematian.Ketujuh fase tersebut dalam proses-proses kematian. Ketujuh fase tersebut secara berturut-turut adalah:
a.    Ketidak tahuan
Tidak adanya kejelasan bagi seorang klien bahwa akhir kehidupannya sudah semakin dekat.Selain itu, ketidak tahuan tentang prognosa penyakit dan juga seberapa berat penyakitnya. Klien yng berada pada fase ini seharusnya diberikan support dengan selalu mendampingi. Hal ini penting untuk meletakkan dasar kepercayaan yang kuat bahwa ia mendapatkan dukungan dari siapapun dalam masalah ini.
b.    Ketidak pastian
Suatu kondisi dimana individu tidak mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagimana masalahnya. Individu akan mencoba mencari-cari alasan supaya masalah tersebut segera berakhir. Klien yang berada pada fase ini akan lebih mudah melaluinya bila ia memiliki pengharapan / harapan. Sehingga klien dapat bertahan untuk selanjutnya masuk ke fase berikutnya.
c.    Penyangkalan
Sebagai salah satu upaya pertahanan diri, akibat ketidakmampuan seseorang untuk menerima situasi yang harus dihadapinya. Pada umumnya reaksi seseorang dalam fase ini adalah tidak menerima keseriusan dari situasi yang dihadapinya, dan seolah olah sama sekali tidak mengerti. Kondisi ini perlu dipahami oleh perawat, sehingga perlu member waktu merenungkan untuk kemudian menyadari.Selain itu jangan terus-menerus mengkonfrontasi dengan situasi serius dari masalahnya.
d.    Perlawanan
Merupakan akibat logis dari fase sebelumnya dan mulai mengembangkan kesadaran bahwa ajal sudah dekat.Wujud dari fase ini adalah dengan agresi dan biasanya disebut juga fase yang penuh kemarahan dan agresi.Perlawanan ini lebih ditujukan kepada system pelayanan yang diterimanya. Sehingga individu ini akan mencari-cari jalan penyelesaian sendiri yang bertujuan untuk menolong dirinya sendiri ataupun keutuhannya. Hal yang paling diinginkannya adalah keamanan dan perlindungan diri.Implikasi keperawatannya adalah perawat menyediakan diri untuk mendengarkan dan menemani melewati perjalanan menuju akhir kehidupannya.
e.    Penyelesaian(perundingan)
Bila individu merasakan ketidak bergunaan penyangkalan dan kemarahan maka ia akan merundingkan penyelesaian dengan orang-orang yang memiliki pengaruh dengan sisa hidupnya. Reaksi yang dimunculkan biasanya dengan menyampaikan janji-janji bila nanti kematiannya dapat ditunda.Implikasi perawatannya adalah memberikan dukungan dan selalu dekat dengan klien.Jangan mengoreksi, rahasiakan setiap pembicaraan dengan nya.Beriakan kasih saying untuk menunjukkan empati.
f.     Depresi
Individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam, kesendirian dan ketakutan. Sedih atas apapun yang akan ditinggalkannya. Belum siap dengan kesendiriannya, karena meninggal berarti seorang diri.
g.    Penerimaan
Tidak setiap individu mampu mencapainya. Respon yang diperlihatkan oleh individu adalah sikap yang tenang, karena ia sadar bahwa ia tidak dapat mengatasi perjuangan ini. Tujuan dari perawatannya adalah untuk member kesempatan padanya untuk memenuhi permintaan dan keinginan pribadinya, selama sisa hidupnya.
2.9.3 Fungsi Kematian
            Adakah fungsi kematian?Bila jawabannya didasarkan atas akal tentu sulit menjawabnya.Fungsi kematian ada apabila jawabannya bersumber dari ajaran-ajaran agama.Ajaran agama tidak memandang semata-mata sebagai kematian fisik, tetapi berfungsi rohaniah, yaitu untuk memberikan pembalasan kepada manusia sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu hidup. Orang yang mengikuti ajaran agama dengan sebenarnya dan sebaik-baiknya akan dijamin masuk surga, dan sebaliknya, orang yang tidak mengikuti ajaran agama akan masuk neraka. Kalau demikian kematian itu dapat merupakan bencana atau nikmat.Fungsi kematian adalah untuk menghentikan budi daya, prestasi dan sumbangan seluruh potensi kemanusiaannya. Maka kematian itu bukan akibat kesalahannya atau dosanya kepada orang lain, atau tumbal, melainkan karena takdir.
2.9.4 Sikap Menghadapi Kematian
                   Sikap menghadapi kematian adalah kecenderungan perbuatan manusia dalam menghadapi kematian yang diyakininya bakal terjadi.Sikapnya bermacam-macam sesuai dengan keyakinannya dan kesadarannya.
1.        Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai makna rohaniah
2.        Orang yang mengabaikan peristiwa kematian, yang menganggap kematian sebagai peristiwa alamiah yang tidak ada makna rohaniahnya.
3.        Orang yang merasa takut atau keberatan untuk mati karena terpukau oleh dunia materi
4.        Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap bahwa kematian itu merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi keharusan menyiapkan diri untuk mati.
2.10          Perawatan Pendampingan Terhadap Pasien Kehilangan, Berduka Dan Kematian
Pada tahap yang terdapat dalam fase atau tahap kehilangan, peran perawat didalamnya berbeda-beda, yaitu :
1.      Fase megingkari : memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya secara verbal, tidak membantah pengingkaran pasien, duduk intens bersama pasien, menggunakan teknik komunikasi, sentuhan serta memperhatikan kebutuhan dasar pasien.
2.      Fase marah : mendorong dan memberikan waktu pada pasien untuk mengungkapkan kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan, memfasilitasi kebutuhan pasien akibat reaksi kemarahannya, serta memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa marah merupakan sebuah proses yang normal.
3.      Fase tawar-menawar : membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya dengan memberkan perhatian penuh dan tulus, mengajak pasien berbicara untuk mengurangi rasa bersalah serta memberikan dukungan spiritual.
4.      Fase depresi : mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu mengurangi rasa bersalah dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan kesedihannya, memberikan dukungan non verbal, membahas pikiran negatif dan melatih mengidentifikasi hal negatif tersebut.
5.      Fase penerimaan : membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan yang akan dilakukan dan membantu keluarga untuk bisa mengerti penyebab rasa kehilangan. (Putri, Rosiana, 2013)



2.11 Asuhan keperawatan
1.         Pengkajian
Factor predisposisi
Factor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
a)      Genetic
Individu yang dilahirkan dan di besarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
b)      Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
Kesehatan mental      
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai perasaan tidak berbahaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
c)      Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa (stuart-sundeen, 1991)
d)      Struktur kepribadian
Individu dengan konsep diri yang negative, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
e)      Factor presipitasi
Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata, ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi: kehilangan kesehatan, dan kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan milik pribadi seperti kehilangan harta benda atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.
f)       Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti: menangis atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-tanda usaha bunuh diri atau ingin membunuh orang lain. Juga sering berganti tepat mencari informasi yang tidak menyokong diagnosanya.
g)      Mekanisme koping
Kopig yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara lain: denial, represi, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi dan proyeksi yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat
2.         Diagnose keperawatan
1.    Potensial proses berduka yang tidak terselesaikan se hubungan dengan kematian ibu
2.    Fiksasi berduka pada fase depresi sehubungan dengan amputasi kaki kiri   
3.         Perencanaan
Tujuan jangka panjang: agar individu berperan aktif melalui proses berduka secara tuntas.
Tujuan jangka pendek, pasien mampu:
1.      Mengungkapkan perasaan duka.
2.      Menjelaskan makna kehilangan orang atau objek.
3.      Membagi rasa dengan orang yang berarti.
4.      Menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan damai.
5.      Membina hubungan baru yang bernakna dengan objek atau orang yang baru.
4.         Prinsip tindakan keperawatan pada pasien dengan respon kehilangan
1.      Bina dan jalin hubungan saling percaya
2.      Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang menyakitkan dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya
3.      Identifikasi kemungkinan factor yang menghambat proses berduka
4.      Kurangi atau hilangkan factor penghambat proses berduka
5.      Beri dukungan terhadap respon kehilangan pasien
6.      Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
7.      Ajarkan teknik logotherapy dan psycoreligious therapy
8.      Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut:
a)      Fase pengingkaran
·         Member kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
·         Menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan mendorong pasien untuk berbagi rasa.
·         Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan, dan kematian
b)      Fase marah
Mengizinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan
c)      Fase tawar menawar
Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.
d)      Fase depresi
·         Mengidentifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien
·         Membantu pasien mengurangi rasa bersalah
e)      Fase penerimaan
Membantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan.

5.         Prinsip keperawatan pada anak dengan respon kehilangan
1.      Memberi dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan serta menjaga anak selama masa berduka.
2.      Menggali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan konsepnya yang salah
3.      Membantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan perilaku yang diperhatikan oleh orang lain
4.      Mengikut sertakan anak dalam upaya pemakaman atau pergi kerumah duka
6.         Prinsip keperawatan pada orang tua dengan respon kehilangan (kematian anak)
1.      Menyediakan sarana ibadah, termasuk pemuka agama
2.      Menganjurkan pasien untuk Menganjurkan pasien untuk memegang dan melibatkan jenasah anaknya..
3.      Menyiapkan perangkat kenangan
4.      Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila diperlukakan
5.      Menjelaskan pada pasien/keluarga cirri-iri respon yang patologis serta tempat mereka minta bantuan bila diperlukaan
7.         Pelaksanaan
Diagnose keperawatan: potensial terjadi proses berduka yang tidak terselesaikan sehubungan dengan kematian ibu, pada anak usia 5tahun.
                           Tujuan        
Tindakan Keperawatan
Tujuan jangka panjang:
Anak dapat menyelesaikan masa berkabung dengan tuntas.
Tujuan jangka pendek:
1.   Anak dapat mengerti arti sakit dan kematian
















2.   Anak dapat mengungkapkan perasaannya











3.   Anak dapat mengurangi rasa bersalah



4.   Melalui proses berkabung dengan melihat perilaku orang dewasa




o  Membina hubungan saling percaya antara anak, keluarga, dan petugas dengan sikap jujur, menerima, ikhlas, dan empati
o  Menunnjukkan perhatian dan kasih saying anak baik melalui kata-kata maupun dengan sikap
o  Menanyakan kepada anak pengalamannya tentang kematian (orang tua/binatang)
o  Menjelaskan kepada anak bahwa ibunya meninggal bukan tidur
o  Menjelaskan kepada anak bahwa roh orang yang meninggal, yang menghadapi tuhan bukan tubuhnya

o   Meminta kepada keluarga/ orang tua yang berarti agar menemani anak selama masa berduka bila perlu mengizinkan untuk tinggal bersama mereka
o   Mendorong anak untuk mengungkapkan perasaannya dengan menanyakan apa yang dipikirkan selama ibunya sakit sampai sekarang

Menjelaskan kepada anak bahwa ibunya sakit dan meninggal bukan karena dia nakal atau bukan karena kesalahannya.

o   Menjelaskan kepada anak bahwa orang yang sering sedih dan menangis bila ada yang meninggal
o   Mengajak anak mengikuti upacara pemakaman dan mengunjungi rumah duka
o   Menjelaskan kepada anak urutan upacara dan apa yang harus dilakukan oleh anank, sebelum upacara dan pelayat datang.


Diagnose keperawatan: fiksasi pada fase pengingkaran sehubungan dengan kematian kekasih
Tujuan
Tindakan keperawatan

Pasien dapat melalui fase penginkarannya dengan wajar (tanpa kesulitan)


o  Mendorong pasien untuk mengungkapkan pengingkaran nya tanpa memaksa untuk menerima kenyataan
o  Mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian apa yang dikatakan oleh pasien
o  Menjelaskan kepada pasien, bahwa perasaan tersebut wajar terjadi pada orang yang mengalami kehilangan
o  Membantu pasien untuk memakai mekanisme koping yang lain seperti menangis/ bicara
o  Mengikutsertakan orang yang berarti bagi pasien untuk menjelaskan apa yang telah terjadi
o  Meningkatkan kesadaran pasien  secara bertahap tentang kenyataan kehilangan yang dihadapi
o  Member dukungan atas usaha pasien untuk mencoba menerima kenyataan
o  Membantu pasien untuk mengungkapkan rasa marahnya
o  Menjawab semua pertanyaan pasien dengan singkat dan jelas
o  Member dukungan secara non verbal


8.         Evaluasi
1.      Apakah pasien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara spontan?
2.      Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilanga tersebut terhadap kehidupannya?
3.      Apakah pasien mempunyai system pendukung untuk mengungkapkan perasaannya ( teman, keluarga, lembaga, atau perkumpulan lain )
4.      Apakah pasie menunjukkan tanda-tanda penerimaan
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatic, diantisiapsi atau tidak diharapkan atau diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen.  Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa kehilangan, biasanya akibat perpisahan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Ketika hal tersebut merupakan peristiwa yang suatu saat akan terjadi pada makhluk hidup seperti kita manusia.
3.2 SARAN
Kehilangan, kematian dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Kita sebagai seorang perawat dapat bekerjasama dengan klien yang mengalami hal tersebut. Perawat dapat memberikan pemahaman agar klien dapat menerima dan memahami kehilangan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarganya yang mengalami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, perawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau bahkan kematian.









DAFTAR PUSTAKA
Mubarak, Iqbal Wahit dkk. 2015. Ilmu  Dasar Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta Selatan 
Putri, Rosiana. 2013. Asuhan Keperawatan Berduka Situasional. Jakarta, UI
Yosep, Iyus, S.Kep, M.Si. revisi april 2009,2010. Keperawatan Jiwa , Bandung: PT Refika Aditama
















ROLLPLAY
KEHILANGAN
PEMAIN :
1.      FARICO MISYAF P. Sebagai PASIEN JIWA
2.      FIKY FENDY Sebagai PERAWAT 1
3.      FITRI FARIANI Sebagai PERAWAT 2
NARATOR : EDWITA KUSWARIS
Pada suatu hari, di rumah sakit jiwa terdapat pasien yang sudah 2 bulan dirawat dengan gangguan jiwa. Penyebabnya adalah ia mengalami depresi yang ringan akibat kehilangan tunangannya. Ketika itu ada seorang perawat yang sedang menghampirinya dan ingin memberikan obat karena sudah waktunya pasien tersebut meminum obat.
PERAWAT 1 : selamat siang, bapak (sembari tersenyum pada pasien)
PASIEN : keluar... keluar dan jangan mendekat.. aku tidak mau bertemu dengan siapapun.
                  KELUARRRRRR............
PERAWAT 1 : tenang bapak, tenang. Saya tidak akan mengganggu bapak, saya disini hanya ingin merawat bapak dan ingi memberikan obat ini kepada bapak, agar bapak cepat sembuh.
PASIEN : aku tidak mau minum apapun, aku tidak gilaaaaaaaaaaaa... keluarkan aku dari siniiii...... (sambil melempar bantal dan guling kepada si perawat)
            Akhirnya, si perawatpun tidak berani memberikan obat tersebut kepada pasien karena pasien mengamuk-ngamuk padanya, dan perawat tersebut keluar dan mencari bantuan kepada perawat yang lain.
PERAWAT 1 : haduhh, bagaimana ini ners fitri, pasien di kamar anggrek tidak mau untuk minum obat dan sekarang ia mengamuk-ngamuk .
PERAWAT 2 : waduh kasian sekali ya ners, kalau begitu mohon izin ners saya saja yang akan memberinya obat tersebut.
PERAWAT 1 : oh iya ners, tidak apa-apa. Siapa tau pasiennya cepat luluh dan mau untuk minum obat.
PERAWAT 2 : amin, mari akan saya coba terlebih dulu ners
PERAWAT 1 : oh iya-iya silahkan ners.
                            Dan akhirnya, ners fitri lah yang datang menghampiri pasien jiwa tersebut.
PERAWAT 2 : Assalamualaikum, wr.wb permisi bapak, bolehkah saya masuk ?
PASIEN : Boleh-boleh saja, silahkan .
PERAWAT 2 : (Dengan mengulurkan tangannya, perkenalkan nama saya ners Firi, saya datang kesini hanya ingin merawat bapak, agar bapak cepat sembuh. Kalau boleh tau ini dengan bapak siapa ?
PASIEN : nama saya Sumanto
PERAWAT 2 : Oalah, dengan bapak sumanto. Nah, sambil minum obat, gimana kalau kita berbagi cerita. Bapak bisa cerita apa saja yang menjadi beban bapak saat ini. Saya jamin deh nanti kalau bapak sudah bercerita muka bapak, pastii akan lebih terlihat ceria.
PASIEN : Begini suster .. (sambil menangis)... aku tidak percaya sus dengan semua ini, kenapa semuanya harus terjadi padaku. Tunangan saya SUMANTI telah pergi setelah pernikahan saya dengannya kurang 2hari lagi. Kenapa semua ini harus terjadi ?? tuhan tidak adil... jika saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya akan meminta pada tuhan untuk tidak mengambil nyawa SUMANTI terlebih dahulu.
PERAWAT 2 : sabar bapak sabar, istighfar2.. tidak usah sedih dengan adanya semua cobaan ini bapak, bukankah dalam ayat alquran Allah telah berfirman bahwasanya ; MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK BERPASANG-PASANGAN. Jika yang sudah menikah saja belum tentu jodohnya, dan yang menikah saja suatu saat pastii akan berpisah, nah apalgi yang masih dalam ikatan pertunangan. Percayalah bapak, suatu saat bapak akan bertemu dengan jodoh bapak yang sesungguhnya. Masa depan bapak masih panjang, diluar sana bapak bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih sholehah yang memang benar2 khusus di desain sebaik mungkin oleh Allah hanya untuk bapak, jadi lebih baiknya, perbaiki diri lah dari sekarang.
PASIEN : iya ya sus benar juga. Saya boleh kehilangan tunangan saya, tapi saya tidak boleh kehilangan masa depan saya.

            Sejak itulah pasien SUMANTO bisa menerima kehilangan dari tunangannya yaitu SUMANTI. SEKIAN ....










                                     







Tidak ada komentar:

Posting Komentar