MAKALAH
FUNGSI DAN MANFAAT OTONOMI DAERAH
DI
INDONESIA
(Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan)
Disusun
oleh :
Kelompok
8
Juhaeri
Effendi (16142010064)
Noning
Nur Anggraini (16142010074)
Rini
Darmayanti (16142010076)
Siti
Khotijah (16142010078)
Dandy
Nofandani S (16142010135)
PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDIA HUSADA MADURA
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Puji dan
Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami selaku penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini meskipun
dengan waktu yang cukup . Makalah ini membahas mengenai Fungsi dan Manfaat
Otonomi Daerah diberlakukan di Indonesia. Makalah ini dibuat dengan
tujuan agar kita dapat memperoleh suatu ilmu yang berguna dalam bidang studi
keperawatan dan dengan adanya makalah ini di
harapkan dapat membantu dalam proses pembelajaran dan dapat menambah
pengetahuan para pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis banyak mendapatkan tantangan dan hambatan. Akan tetapi berkat bantuan
dan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen pembimbing tantangan
itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Penulis menyadari walaupun sudah berusaha dengan
kemampuan kami yang maksimal, mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang
kami miliki, makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari
segi bahasa, pengolahan maupun dalam penyusunan.Untuk itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya dapat membangun demi tercapainya
suatu kesempurnaan. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Bangkalan, 14 November 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................ 1
DAFTAR
ISI............................................................................................................... 2
BAB
1 : PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang........................................................................................... 3
1.2.
Rumusan Masalah..................................................................................... 4
1.3.
Tujuan........................................................................................................ 4
1.4.
Manfaat...................................................................................................... 4
BAB
2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Otonomi Daerah.......................................................................... 7
2.2.
Tujuan Dan Prinsip Otonomi Daerah........................................................ 9
2.3.
Kelebihan Dan Kekurangan Otonomi Daerah......................................... 14
2.4.
Kaitan Otonomi Daerah Dengan Wawasan
Musantara........................... 16
BAB
3 : PENUTUP
3.1.
Kesimpulan.............................................................................................. 23
3.2.
Saran........................................................................................................ 23
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................... 24
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Otonomi daerah merupakan proses pengejewantahan penerapan
sistem desentralisasi. Dimana sistem desentralisasi diterapkan sebagai tindak
lanjut demokratisasi di Indonesia. Proses sejarahlah yang memaksa diterapkannya
sistem desentralisasi yang bertujuan untuk mengurangi sentralitas kekuasaan
pada pemerintah pusat. Sejarah telah membuktikan bahwa sentralitas pemerintah
pusat menyebabkan sempitnya ruang bagi rakyat untuk mengembangkan potensi yang
sebenarnya bermanfaat untuk keberlangsungan disegala bidang pemerintahn maupun
non pemerintahan. Hal ini juga berkaitan dengan hakikat sistem demokrasi yang
diterapkan di Indonesia, yaitu rakyat mempunyai kedaulatan tertinggi. Fakta
sentralitas pemerintah pusat pada masa Orde Baru (Orba) terbukti telah
menyalahi hakikat dari demokrasi, terlepas dari tidak jelasnya aturan demokrasi
yang diterapkan di Indoneisa apakah langsung atau tidak langsung. Maka dari
itu, sistem desentarlisasi ditetapkan untuk membagi kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk
mengatur pemerintahannya sendiri sering disebut otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai dasar pelaksanaan
otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan berkembangnya secara
maksimal potensi yang dimiliki daerah dan mengurangi jarak antara rakyat dengan
pemerintah sehingga rakyat dengan mudah menyalurkan aspiransinya.
Negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi secara
faktanya tidak lepas dari permasalahan baik yang bersifat lokal maupun non
lokal. Justru fakta menunjukkan bahwa negara demokrasi mengalami permasalahan
yang sangat kompleks dibandingkan dengan negara non demokrasi. Masalah yang
sering terjadi berkaitan dengan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh rakyat.
Selain itu juga permasalahan yang sekarang terjadi yaitu dengan keluarnya
Undang-Undang terbaru mengenai Pemerintah Daerah UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No.
23 Tahun 2014 dengan adanya Peraturan Pemerintah pengganti UU No 23 Tahun 2014
sehingga menjadi rancu dalam peraturan mengenai Pemerintah Daerah.
1.2. Rumusan
Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah?
b.
Apa tujuan dierlakukannya otonomi daerah?
c.
Apa saja prinsip-prinsip yang mendasari
otonomi daerah?
d.
Apa saja kelebihan dan kekurangan otonomi
daerah?
e.
Bagaimana kaitan otonomi daerah dengan
wawasan nusantara?
1.3. Tujuan
a.
Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
definisi otonomi daerah
b.
Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
tujuan dan prinsip-prinsip otonomi daerah
c.
Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
kelebihan dan kekurangan dari otonomi daerah
d.
Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
kaitan otonomi daerah dengan wawasan Nusantara
1.4. Manfaat
Setelah mata
kuliah ini diharapkan Mahasiswa mampu memahami konsep otonomi daerah yang
diberlakukan di Indonesia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Krisis ekonomi dan politik yang melanda
Indonesia sejak tahun 1997 telah memporakporandakan hampir seluruh sendi-sendi
ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi,
krisis ekonomi dan politik, yang berlanjut menjadi multikrisis, telah
mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam
menjamin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan
oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan
dan pengelolaan segaal sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah
pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengoleola dan mengatur
daerahnya.
Sebagai respons dari krisis tersebut, pada
masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan
yang cukup penting yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan
keuangan antar pusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen pemerintahan
yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi
daerah, yang tidak dapat dilepaskan dari upaya politik pemerintah pusat untuk
merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal dari beberapa wilayah, yang
memiliki aset sumber daya alam melimpah, namun tidak mendapatkan haknya secara
proporsional pada masa pemerintahan Orde Baru.
Otonomi daerah dianggap dapat menjawab
tuntutan pemerataan pembangunan social ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan,
dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab dapat menjamin
penanganan tuntutan masyarkat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan
mengapa kebutuhan terhadap otonomi daerah di Indonesia saat itu dirasakan
mendesak.
a.
Kehidupan berbangsa dan
bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta centris). Sementara
itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Hal ini bisa terlihat
bahwa hampir 60% lebih perputaran berada di Jakarta, sedangkan 40% digunakan
untuk di luar Jakarta. Dengna penduduk sekitar 12 juta di Jakarta, maka
ketimpangan sangat terlihat, karena daerah di luar jakarta dengan penduduk
hampir 190 juta hanya menggunakan 40% dari perputaran uang secara nasional.
Selain itu, hampir seluruh proses perizinan investasi juga berada di tangan
pemerintah pusat di Jakarta.
b.
Pembagian kekayaan dirasakan
tidak adil dan tidak merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam
melimpah berupa minyak, hasil tambang, dan hasil hutan, seperti Aceh, Riau,
Papua, Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang
layak dari Pemerintah Pusat, dibandingkan dengan daerah yang relatif tidak
memiliki banyak sumber daya alam.
c.
Kesenjangan sosial (dalam
makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa.
Pembangunan fisik di satu daerah terutama Jawa, berkembang pesat sekali.
Sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban, dan bahkan terbengkalai.
Kesenjangan sosial ini juga meliputi tingkat pendidikan dan kesehatan keluarga.
2.1. Definisi
Otonomi Daerah
Reformasi membuka jalan bagi setiap orang maupun daerah untuk
menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan
pembangunan yang sentralistik selama Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun
ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa
ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain kesenjangan pendapatan
antardaerah yang besar, kesenjangan investasi antardaerah, pendapatan daerah
yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi
yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan salah
satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sumber
daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan rakyat.
Otonomi secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas
adalah “berdaya”.
Jadi otonomi daerah yang dimaksud di sini adalah pemberian
kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau
berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Sedangkan
desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer/pemindahan
kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara desentralisasi menurut
Shahid Javid Burki dan kawan-kawan adalah proses pemindahan kekuasaan politik,
fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir
demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen
administrasi /manajemen yang digunakan utnuk mengoptimalkan sumber daya lokal,
sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di
daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan
demokrasi.
Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:992), otonomi adalah pola pemerintahan
sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai berikut:
“Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.
Otonomi
daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur,
mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati
peraturan perundangan yang berlaku (Hanif Nurcholis, 2007:30). Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan daerah otonom
sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local self-government) adalah kabupaten dan kota.
Sesuai
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten
dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas
desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi
daerah otonom penuh (Hanif Nurcholis, 2007:29). Dari pendapat di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota untuk
mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai
dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada kepada peraturan
perundangan yang berlaku dan mengikatnya.
2.2. Tujuan
Dan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah
Tujuan utama
penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002:46) adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya
terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2)
menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3)
memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan.
Menurut
Deddy S.B. & Dadang Solihin (2004:32), tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal
dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada
intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan
memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa
ahli adalah sebagai berikut:
a.
Dilihat dari segi politik,
penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di
pusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta
dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
b.
Dilihat dari segi
pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai pemerintahan
yang efisien.
c.
Dilihat dari segi sosial
budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus
kepada daerah.
d.
Dilihat dari segi ekonomi,
otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat (HAW. Widjaja, 2007:133).
Untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari
praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara
keuangan pemerintah pusat dan daerah (HAW. Widjaja, 2007:7-8). Dengan demikian
prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:
a.
Prinsip
Otonomi Luas
Yang
dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan
kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh
pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki
banyak ragam dan jenisnya. Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk
menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan
tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu
sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan
potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
b.
Prinsip
Otonomi Nyata
Yang
dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk
menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah
masing-masing.
c.
Prinsip
Otonomi yang Bertanggungjawab
Yang
dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian
otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat (Rozali Abdullah, 2007:5).
Yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom
selanjutnya disebut dengan daerah. Landasan hukum melaksanakan otonomi daerah
adalah Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
a.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan derah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
b.
Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
c.
Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Peerwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
d.
Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis.
e.
Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
f.
Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan.
g.
Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah dibentuk
undang-undang organik sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUD 1945. Undang-undang
tersebut adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang ini menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 merupakan pengganti dari
Undnag-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, daerah yang bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah,
yaitu daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota. Selain asas desentralisasi,
daerah otonom dalam hal ini daerah provinsi menganut pula asas dekonsentrasi.
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan adanya pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Menurut Bagir Manan,
dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara,
karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran dekonsentrasi
semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan pemerintahan sentarl di Daerah.
Berdasarkan pendapat di atas, maka pada dasarnya dekonsentrasi itu
dilaksanakan untuk memudahkan tugas-tugas Pemerintah (pusat) yang
diselenggarakan di Daerah. Oleh karena itu menurut Bagir Manan: Dekonsentrasi
adalah unsur sentralisasi. Karena semata-mata ”ambelijk” maka
dekonsentrasi dalam ilmu hukum terletak dalam lingkungan Hukum Administrasi
Negara (Administratiefrecht bukan Staatrecht).
Menurut undang-undang tersebut di atas, pelaksanaan otonomi daerah
di Indonesia didasarkan pada otonomi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab.
Otonomi yang nyata adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan serta tumbuh,
hidup, dan berkembang di daerah. Otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan pada bidang-bidang tertentu yang masih
ditangani dan terpusat oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Kewenangan daerah otonom sangat luas. Pemerintah daerah berwenang
mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya. Urusan itu meliputi berbagai
bidang, misalnya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, perumahan, pertanian,
perdagangan, dan lain-lain.
Pemerintah pusat hanya menangani enam urusan saja: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat
dan Daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2.3. Kelebihan
Dan Kekurangan Otonomi Daerah
Meskipun demikian tidak
berarti otonomi daerah sudah menjadi sistem yang sempurna. Belum lama ini, ada
keinginan dari pemerintah untuk memperbaiki UU No 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan dan
Dewan Perwakilan Rakyat memberi waktu kepada pemerintah untuk mengajukan
perbaikan sampai pertengahan tahun ini. Ini disebabkan karena adanya
kelemahan-kelemahan pada kedua UU tersebut, disamping tentunya ada
kelebihannya. Bbeberapa kelebihan dan kelemahan yang dijumpai, diantaranya
adalah :
a.
Kelebihan
Otonomi Daerah
1) Dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah.
2) Dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada
daerah, daerah mempunyai keleluasaan dalam melakukan pengelolaan pembangunan
sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Kewenangan yang diberikan kepada
daerah juga memungkinkan bagi daerah untuk mengambil keputusan secara cepat.
3) Struktur organisasi dan personil dapat
ditentukan sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak terjadi penggemukan. Dapat
meningkatkan kreativitas aparatur pemerintah baik dalam pengelolaan pembangunan
maupun dalam penggalian sumber-sumber dana pembangunan.
4) Dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi
pelayanan publik. Dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan, baik dalam perencanaan, pengawasan, pendanaan, maupun dalam
pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
5) Mempercepat terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru di daerah.
6) Meningkatkan sosial budaya masyarakat yang
selama ini kurang mendapat perhatian karena terfokus pada pertumbuhan ekonomi.
b.
Kekurangan
Otonomi Daerah
1) Terbatasnya jumlah dan kualitas aparat
pemerintah di daerah.
2) Penyerahan urusan sebagian belum diikuti dengan
penyerahan pembiayaan, personil dan peralatan.
3) Rendahnya tingkat pendapatan asli di beberapa
daerah.
4) Bias ekonomi, bias luar jawa dan bias sumber
daya alam.
5) Anggapan keseragaman kesiapan daerah, sehingga
pelaksanaannya dilakukan secara serempak di seluruh wilayah Indonesia.
6) Aspirasi masyarakat yang berlebihan dapat
menyebabkan tidak terjadi integrasi antara kepentingan daerah dengan
kepentingan nasional.
7) Tidak ada hirarkhi antara kabupaten/kota dengan
propinsi yang dapat menyebabkan timbulnya kesulitan dalam koordinasi kegiatan
lintas kabupaten/kota.
8) Terdapat ambivalensi dan inkonsistensi khususnya
di tingkat propinsi. UU menyebutkan otonomi luas berada di kabupaten, tetapi
banyak hal diambil propinsi. Posisi Gubernur tidak jelas. Pada satu sisi adalah
wakil pemerintah dan oleh karena itu pejabatnya ditunjuk presiden; pada sisi
lain propinsi adalah daerah otonom yang seharusnya Gubernur menjadi jabatan
politis yang dipilih DPRD.
2.4. Kaitan
Otonomi Daerah Dengan Wawasan Nusantara
Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengelola
dan mendapatkan potensi sumber-sumber daya alamnya sesuai dengan proporsi daya
dukung yang dimiliki oleh daerahnya. Dengan demikian, tidak ada kecemburuan dan
ketidakadilan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan daerah. Sedangkan
Wawasan Nusantara menghendaki adanya persatuan bangsa dan keutuhan wilayah
nasional. Pandangan untuk tetap perlunya persatuan bangsa dan keutuhan wilayah
ini merupakan modal berharga dalam melaksanakan pembangunan. Wawasan Nusantara
juga mengajarkan perlunya kesatuan sistem politik, sistem ekonomi, sistem
sosial, sistem budaya, dan sistem pertahanan-keamanan dalam lingkup Negara
nasional Indonesia. Cerminan dari semangat persatuan itu diwujudkan dalam
bentuk negara kesatuan.
Namun demikian semangat perlunya kesatuan dalam berbagai aspek
kehidupan itu jangan sampai menimbulkan negara kekuasaan. Negara menguasai
segala aspek kehidupan bermasyarakat termasuk menguasai hak dan kewenangan yang
ada di daerah-daerah di Indonesia. Tiap-tiap daerah sebagai wilayah (ruang
hidup) hendaknya diberi kewenangan mengatur dan mengelola sendiri urusannya
dalam rangka mendapatkan keadilan dan kemakmuran.
Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan otonomi daerah atau
dengan kata lain otonomi daerah tidak bertentangan dengan prinsip wawasan
nusantara. Otonomi dan desentralisasi adalah cara atau strategi yang dipilih
agar penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini bisa menciptakan
pembangunan yang berkeadilan dan merata di seluruh wilayah tanah air.
Pengalaman penyelenggaraan bernegara yang dilakukan secara tersentralisasi
justru banyak menimbulkan ketidakadilan di daerah.
Keadilan adalah prasyarat bagi terwujudnya persatuan bangsa
sebagaimana hakikat dari Wawasan Nusantara.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU Pemda) termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2004 Nomor 125 disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004, dan berlaku
mulai tanggal diundangkannya. UU Pemda ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1999.
Kenyataannya, UU Pemda pada prinsipnya telah melakukan perubahan yang mendasar
pada penyelenggaraan pemerintah daerah dengan mengutamakan pelaksanaan asas-asas
desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU Pemda adalah mendorong untuk
memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan
peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD, serta mekanisme
pemilihan Kepala Daerah yang lebih demokratis.
a.
Otonomi
Daerah
Otonomi daerah, menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda):
Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi dalam konteks hubungan hirarki dikaitkan dengan pembagian
kekuasaan secara vertikal, diartikan sebagai: Penyerahan kepada atau membiarkan
setiap pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
tertentu secara penuh baik mengenai asas-asas maupun cara menjalankannya
(wewenang mengatur dan mengurus asas dan cara menjalankannya). Rumusan di atas
dimaksudkan untuk memberikan pembedaan antara asas otonomi dan tugas pembantuan
(medebewind), dalam menjalankan pemerintahan daerah. Pasal 1 ayat 9 UU
Pemda merumuskan tugas pembantuan sebagai:
Penugasan dari Pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Harsono menulis bahwa pada medebewind, penyerahan yang
dilakukan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan
saja, sedangkan prinsipprinsipnya (asas-asasnya) ditetapkan pemerintah pusat
sendiri. Bagir Manan sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, merumuskan
pengertian otonomi daerah sebagai kebebasan dan kemandirian (vrijheid en
zelfstandigheid) satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan
mengurus sebagian urusan pemerintahan.
Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut di atas, hakikat pengertian
otonomi daerah secara singkat dirumuskan oleh Philipus M. Hadjon: otonomi
daerah hakikatnya berasal dari unsur kebebasan (bukan kemerdekaan: independence,
onafhankelijkheid–otonomi merupakan subsistem dari negara kesatuan).
Pengertian otonomi seluas-luasnya tidak secara tegas diatur dalam
UU Pemda. Namun demikian isi (wewenang) otonomi adalah urusan yang tidak
diserahkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (3)
UU Pemda, yang meliputi bidang: politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter, dan fiskal nasional, dan agama. Sebagai konsekuensi dari
dipilihnya asas otonomi (daerah) dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah
Pusat melaksanakan desentralisasi kewenangan. Desentralisasi menurut rumusan
Pasal 1 ayat (7) UU Pemda adalah Penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wewenang pemerintahan yang diserahkan kepada satuan-satuan
pemerintahan daerah untuk menjadi wewenang otonomi, dapat ditemkan dalam UU
Pemda Bab III Pasal 14. Wewenang tersebut dibagi atas wewenang yang sifatnya
wajib yang ditentukan secara limitatif meliputi: 16 jenis urusan dan wewenang
yang bersifat pilihan. Pasal 13, mengatur mengenai wewenang daerah provinsi
sebanyak: 16 jenis urusan pemerintahan yang bersifat wajib, ditambah urusan
pemerintahan yang bersifat pilihan. Sedangkan Pasal 14, mengatur mengenai
wewenang daerah kabupaten/kota sebanyak 16 jenis urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, dirumuskan sebagai
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan, yang disesuaikan dengan kondisi kekhasan, yang potensi unggulan
daerah. Pembagian satuan-satuan pemerintahan (daerah otonom) dalam hubungan
hirarki merupakan konsekuensi logis bentuk negara kesatuan, dan pada sisi yang
lain membawa pula konsekuensi pada hubungan wewenang melalui jalur koordinasi
dan pengawasan, di samping pembinaan dan kerjasama. Konsekuensi dari adanya
distribusi kekuasaan secara vertikal kepada satuan-satuan pemerintahan daerah
(sebagai daerah otonom) dalam rangka desentralisasi terjadi pula distribusi
pendapatan, yang diterima daerah sebagai pendapatan Daerah.
b.
Otonomi
Khusus
Momentum reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR-RI) mengamanatkan suatu koreksi terhadap berbegai penyimpangan
pelaksanaan ideology Pancasila dan ketentuan UUD 1945. Wujud nyata dari amanat
MPR-RI tersebut adalah pengaturan dan pembentukan otonomi khusus, sebagaimana
termuat dalam:
1)
Ketetapan MPR-RI No.
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004, pada Bab
IV huruf G mengenai Pembangunan Daerah dalam angka 2 antara lain memuat
kebijakan otonomi khusus bagi Aceh dan Irian Jaya
2)
Dalam salah satu bagian dari
Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Bagian III mengenai Rekomendasi. Rumusan Tap
MPR-RI No. IV/MPR/1999 menyatakan: ”... dalam rangka mengembangkan otonomi
daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk
menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan
penanganan segera dan sungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah
dengan sebuah kebijakan.
Menurut Pasal 18B UUD 1945:
1)
Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2)
Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
3)
Pemilihan
Kepala Daerah
Perbedaan substansial antara
UU No. 32 Tahun 2004 dengan Undang-undang Pemerintahan daerah sebelumnya adalah
kedudukan kepala daerah yang proses pemilihannya dilakukan secara demokratis.
Dasar konstitusional, pemilihan tersebut merujuk pada hasil perubahan kedua UUD
1945 pada pasal 18 ayat (4) menyatakan, ”Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih
secara demokratis.”
Undang-undang memandang bahwa
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis dapat
dilakukan melalui dua cara: pertama, pemilihan oleh DPRD, kedua,
pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pasal 62 Undang-undang No. 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mencantumkan tugas
dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan
demikian, makna pemilihan Kepala Daerah secara demokratis sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945 adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Berkaitan dengan keberadaan
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: Prinsip
demokrasi yang terkandung dalam Pasal 18 (ayat 3 dan 4) menyangkut pemilihan
anggota DPRD dan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum tidak hanya untuk memilih
wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD) tetapi juga untuk Kepala Pemerintahan. Menurut
DPR yang diwakili Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin dalam keterangan
tertulis tertanggal 14 Februari 2005 pada siding Mahkamah Konstitusi untuk
putusan perkara gugatan judicial review UU Nomor 32 Tahun 2004 terhadap
UUD 1945 mengatakan: Lahirnya kata demokratis yang dicantumkan dalam Pasal 18
ayat (4) UUD 1945 ketika itu menjelang perubahan kedua tahun 2000.
Setidak-tidaknya dikarenakan adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara
pemilihan Kepala Daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung oleh rakyat dan sepenuhnya mengikuti apa yang terjadi
pada pemilihan presiden dan wakil presiden sementara pendapat yang lain
menghendaki tidak dilakukan secara langsung.
Pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi mengatakan: Rumusan ”dipilih secara demokratis” dalam ketentuan
pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di
daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksudkan Pasal
18B ayat (1) UUD 1945 .... Tetapi hal ini tidak dapat diartikan bahwa pilkada
secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa ”dipilih secara
demokratis” yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Namun kenyataannya
dalam menjabarkan maksud ”dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 pembuat undang-undang telah memilih cara pilkada secara langsung.
Sebagai konsekuensinya asas-asas dan lembaga penyelenggara pemilu harus
tercermin dalam penyelenggaraan pilkada.” Pemilihan Kepala Daerah secara
langsung sangat mendukung iklim otonomi daerah.
Harapan bahwa Kepala Daerah
yang terpilih adalah putra daerah yang sangat memahami dan dikenal luas oleh
warga masyarakat di daerahnya menjadi dasar yang sangat kuat bahwa pelaksanaan
otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung dapat berjalan
dengan sinergis.
BAB 3
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Otonomi daerah dapat diartikan
sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik
kabupaten maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan
urusannya sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu
kepada kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya. Otonomi
daerah emiliki tujuan dan prinsip yang jelas serta sangat berkaitan erat dengan
sistem di Indonesia.
3.2.
Saran
Kami menyadari bahwa kekurangan dalam makalah yang kami
buat di atas merupakan kelemahan dari pada kami, karena terbatasnya kemampuan
kami untuk memperoleh data dan informasi karena terbatasnya
pengetahuankami.Jadi yang kamiharapkan kritik dan saran yang membangun agar
kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Dengan segala pengharapan
dan keterbukaan, kami menyampaikan rasa terima kasih dengan setulus-tulusnya.
Akhir kata, kami berharap agar makalah ini dapat membawa manfaat kepada
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. 2004. Pelaksanaan
Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Adisubrata, Winarna
Surya.2003. Perkrmbangan Otonomi Daerah Di Indonesia.Semarang: Aneka Ilmu.
Agussalim A. Gadjong. 2007. Pemerintahan
Daerah: Kajian Politik dan Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Agus Santoso, HM. 2013, Menyingkap
Tabir. Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka.
Alpha Amirrachman. 2007.
Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku
dan Poso. Jakarta: International Center for Islam and Pluralism (ICIP) and
European Commission (EC). Hlm. 11.
Ardika, Gede Tusan. 2011. Konsep
Dasar Otonomi Daerah Dalam Era Reformasi. GaneC Swara, Volume 5, Nomor 1.
Asshiddiqie, Jimly. 2005.Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi
Press.
Asshiddqie, Jimly. 2005.
HUKUM TATA NEGARA DAN PILAR-PILAR DEMOKRASI. Jakarta: Konstitusi Press.
B.N. Marbun. Otonomi
Daerah 1945-2010 Proses dan Relita: Perkembangan Otda sejak Zaman Kolonial
sampai Saat ini. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2010).
Chalid, Pheni. 2005. OTONOMI
DAERAH (MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAM KONFLIK). Perpustakaan Nasional RI:
Katalog Dalam Terbitan.
Dwipayana, AA GN
Ari. ”Arah Dan Agenda Reformasi DPRD: Memperkuat Kedudukan dan
Kewenangan DPRD”. DRSP-Usaid, Jakarta, 2008.
http://www.drspusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub.(Diakses pada tanggal 23 Oktober 2014)